coronatalk.org, Jakarta – Kebiasaan jarang minum air putih yang umum terjadi di Taipei, Taiwan, diyakini menjadi salah satu penyebab tingginya angka pasien cuci darah atau hemodialisa di wilayah tersebut. Dalam temu media di Jakarta, Rabu, 18 Desember 2024, Direktur PT Forsta Kalmedic Global, Yvone Astri Della Sijabat, mengungkapkan temuan menarik terkait gaya hidup warga Taipei.
“Di Taipei, Taiwan, pasien cuci darah itu banyak banget. Terus saya bingung, kok bisa ya banyak banget? Terus kita notice, kalau makan di restoran, orang sana itu pesan makanan doang. Jadi, kalau makan, selesai makan tuh mereka minum supnya, mereka enggak pesan air putih,” kata Yvone.
Kebiasaan ini semakin diperparah dengan pilihan minuman yang kurang sehat. “Mentok-mentok mereka kalau minum itu bir, mentok-mentok lagi teh. Jadi kita jangan lupa minum air putih ya, sayangi ginjal kita,” tambahnya.
Apa Akibatnya Jika Kurang Minum Air Putih?
Minimnya konsumsi air putih dapat berdampak serius pada kesehatan ginjal. Ginjal bertugas menyaring limbah dan cairan berlebih dari tubuh. Ketika asupan cairan tidak mencukupi, ginjal harus bekerja lebih keras, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan permanen.
Jika fungsi ginjal sudah turun drastis hingga kurang dari 15 persen, pasien memasuki tahap akhir penyakit ginjal kronis (End Stage Renal Disease) dan harus menjalani cuci darah seumur hidup.
Prosedur hemodialisa melibatkan penggunaan mesin dialisis dan dialyzer untuk membersihkan darah dari racun dan cairan berlebih. Dokter biasanya membuat akses ke pembuluh darah melalui operasi minor di lengan untuk memudahkan proses ini.
Berapa Persen Orang Terkena Gagal Ginjal?
Fenomena ini juga terjadi di Indonesia. Dari 267 juta penduduk Indonesia, sebanyak 1,5 juta orang menderita gagal ginjal kronis, dengan 159.000 di antaranya menjalani cuci darah secara rutin.
Kebutuhan hemodialisis di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Bahkan, sebanyak 99 persen pasien cuci darah dijamin oleh BPJS, menunjukkan tingginya beban biaya yang harus ditanggung.
Pengeluaran Terbesar Keempat BPJS Kesehatan
Berdasarkan data BPJS Kesehatan, cuci darah dinyatakan sebagai tindakan dengan biaya terbesar keempat pada pengeluaran BPJS dengan pengeluaran tahun 2023 sebesar Rp2,9 T.
Fakta lainnya, sebanyak 85 persen pasien cuci darah ada di rentang usia produktif, menyebabkan tingginya dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan jika pasien gagal ginjal tidak terjaga quality of life-nya. Hal ini penting untuk memastikan tercapainya Indonesia emas 2045.
Data tersebut menunjukkan perlunya penyediaan alat kesehatan dialyzer berkualitas. Dengan adanya produk lokal dialyzer, akan memastikan pemanfaatan dana BPJS tidak hanya untuk akses kesehatan bagi pasien gagal ginjal. Namun, juga untuk mendukung industri alat kesehatan (alkes) lokal dan memastikan dana tersebut menggerakkan ekonomi dalam negeri. Selain itu, dialyzer produksi dalam negeri dapat membantu mempermudah dan memperluas akses ke wilayah-wilayah di Indonesia.
Produksi Dialyzer Pertama di Indonesia
Guna menyediakan dialyzer lokal, PT Kalbe Farma Tbk (Kalbe) mulai berinovasi melalui PT Forsta Kalmedic Global. Produksi dialyzer dalam negeri sekaligus mendukung program pemerintah dalam mencapai kemandirian sistem kesehatan.
Dialyzer merupakan bahan habis pakai (consumables) penting dalam tindakan hemodialisis atau cuci darah. Forsta telah membangun fasilitas produksi Dialyzer dengan brand dialyzer pertama yang terdaftar menggunakan nama RenaCare yang dipasarkan oleh PT Renalmed Tiara Utama.
Forsta sebagai perusahaan pertama di Indonesia dan nomor dua di ASEAN yang memiliki fasilitas produksi dialyzer.
“Kalbe percaya bahwa melalui penyediaan fasilitas produksi dialyzer di dalam negeri oleh Kalbe melalui Forsta, merupakan bagian dari komitmen Kalbe untuk terus meningkatkan akses kesehatan bagi masyarakat khususnya untuk membantu pasien ginjal di Indonesia,” ujar Direktur PT Kalbe Farma Tbk, Kartika Setiabudy dalam kesempatan yang sama.
Manfaat Kemandirian Industri Hemodialisa
Dialyzer RenaCare produksi lokal sudah menggunakan komponen lokal dengan estimasi nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) lebih dari 40 persen.
Ada sejumlah manfaat dari kemandirian industri hemodialisa di berbagai sektor. Pada sektor ekonomi, dapat mengurangi impor dan menciptakan lapangan kerja. Pada sektor kesehatan, membantu ketersediaan alat yang semakin terjangkau dan efisiensi pasokan alat kesehatan.
Sedangkan pada sektor ketahanan nasional, produksi lokal dialyzer memperkuat ketahanan nasional dengan memastikan ketersediaan produk tetap stabil dan layanan kesehatan berlanjut meski terjadi krisis global.
“Produksi lokal dialyzer menghilangkan bea impor dan biaya pengiriman internasional, sehingga harga lebih terjangkau dan biaya perawatan hemodialisis menjadi lebih aksesibel bagi pasien dan fasilitas kesehatan,” kata Yvone.
“Selain itu, produksi lokal dialyzer juga mengurangi ketergantungan impor, memastikan ketersediaan produk, menghindari gangguan rantai pasok global, dan menekan dampak fluktuasi nilai tukar,” pungkasnya.
Leave a Reply