Wellington – Cedera, infeksi, dan kelaparan merupakan penyebab utama kematian penguin khas Selandia Baru, menyoroti meningkatnya ancaman terhadap burung laut ikonik tersebut dan tantangan dalam memantau kesehatan mereka.
Demikian diungkap sebuah studi yang mengacu pada lebih dari 1.400 entri dalam basis data autopsi satwa liar nasional.
Para peneliti dari Kebun Binatang Auckland, Universitas Massey, dan Departemen Konservasi Selandia Baru serta Universitas Murdoch di Australia menemukan pola yang mencolok dalam penyebab kematian hewan tersebut.
Studi yang diterbitkan pada Kamis (1/5) dalam jurnal PLOS One tersebut terutama berfokus pada penguin mata kuning (yellow-eyed penguin) dan penguin kecil (little blue penguin), yang secara kolektif membentuk bagian besar dari kumpulan data tersebut.
Analisis terhadap data autopsi mengungkap bahwa penyakit menular dan inflamasi adalah penyebab kematian paling umum di kalangan penguin mata kuning, mencakup lebih dari 43 persen diagnosis untuk penguin mata kuning.
Sementara itu, cedera traumatis paling umum terjadi di kalangan penguin kecil dengan persentase hampir 43 persen. Kasus penguin dengan tubuh kurus ditemukan pada lebih dari sepertiga dari total kasus untuk seluruh spesies, menurut studi itu.
Temuan ini disebut mencerminkan kekhawatiran dalam literatur konservasi bahwa populasi penguin sedang menghadapi penurunan ketersediaan makanan, meningkatnya predasi, dan degradasi lingkungan.
Namun, studi tersebut juga menyoroti keterbatasan data yang signifikan. Sebagai contoh, meskipun wilayah jelajahnya terpencil, jumlah penguin mata kuning terlampau banyak karena adanya upaya konservasi yang terkonsentrasi, sementara pelaporan untuk spesies lainnya masih tergolong kurang.
Dengan enam dari 18 spesies penguin di dunia berkembang biak di Selandia Baru, dan sebagian besar dianggap terancam punah, temuan tersebut menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk meningkatkan sistem pemantauan kesehatan satwa liar.
Leave a Reply